Jumat, 21 Januari 2011

KA'BAH = PUSAT PLANET BUMI


Astronout Neil Amstrong telah membuktikan bahwa kota Mekah adalah pusat dari Planet Bumi. Fakta ini telah di diteliti melalui sebuah penelitian Ilmiah.



 

Ketika Neil Amstrong untuk pertama kalinya melakukan perjalanan ke luar angkasa dan mengambil gambar planet Bumi, dia berkata : “Planet Bumi ternyata menggantung di area yang sangat gelap, siapa yang menggantungnya ???”
Para Astronot telah menemukan bahwa planet Bumi itu mengeluarkan semacam radiasi, secara resmi mereka mengumumkannya di Internet, tetapi sayang nya 21 hari kemudian website tersebut raib yang sepertinya ada masalah tersembunyi dibalik penghapusan website tersebut.






Setelah melakukan penelitian lebih lanjut, ternyata radiasi tersebut berpusat di kota Mekah, tepatnya berasal dari Ka’Bah. Yang mengejutkan adalah radiasi tersebut bersifat infinite ( tidak berujung ), hal ini terbuktikan ketika mereka mengambil foto planet Mars, radiasi tersebut masih berlanjut terus.  
Para peneliti Muslim mempercayai bahwa radiasi ini memiliki karakteristik dan menghubungkan antara Ka’Bah di di planet Bumi dengan Ka’bah di alam akhirat.




 Di tengah-tengah antara kutub utara dan kutub selatan, ada suatu area yang bernama ‘Zero Magnetism Area’, artinya adalah apabila kita mengeluarkan kompas di area tersebut, maka jarum kompas tersebut tidak akan bergerak sama sekali karena daya tarik yang sama besarnya antara kedua kutub.
Itulah sebabnya kenapa jika seseorang tinggal di Mekah, maka ia akan hidup lebih lama, lebih sehat, dan tidak banyak dipengaruhi oleh banyak kekuatan gravitasi. Oleh sebab itu lah ketika kita mengelilingi Ka’Bah, maka seakan-akan diri kita di charged ulang oleh suatu energi misterius dan ini adalah fakta yang telah dibuktikan secara ilmiah.



Penelitian lainnya mengungkapkan bahwa batu Hajar Aswad merupakan batu tertua di dunia dan juga bisa mengambang di air. Di sebuah musium di negara Inggris, ada tiga buah potongan batu tersebut ( dari Ka’Bah ) dan pihak musium juga mengatakan bahwa bongkahan batu-batu tersebut bukan berasal dari sistem tata surya kita.






Selasa, 18 Januari 2011

KETERKAITAN DAN SALING MEMPENGARUHI DALAM PENCAK SILAT

Sebagai sebuah produk budaya yang lahir, hidup dan berkembang di tengah masyarakat,
pencak silat tidak bisa melepaskan diri dari unsur keterkaitan dan saling mempengaruhi satu
sama lain. Dalam Tambo Alam Minangkabau yang telah diulas di atas kita menemukan bukti
nyata bahwa pada masa-masa awal pun keterkaitan dan saling mempengaruhi ini sudah ada.
Para pengawal Nini Datu Suri Dirajo berasal dari berbagai macam bangsa dengan ilmu bela diri
masing-masing yang dibawa nya. Silek Minang yang kita kenal saat ini seperti silek tuo, silek
kumango, lintau, sitarlak, dll adalah turunan dari ilmu bela diri yang diwariskan oleh nenek
moyang nya jaman dahulu. Tentu saja sudah tidak dalam bentuk asli nya karena telah terjadi
akulturasi yang demikian sempurna.
Ilmu bela diri dari negeri Cina mempunyai pengaruh yang signifikan dalam perkembangan
selanjutnya. Laksamana Ceng Ho dengan ekspedisi raksasanya membawa sekian banyak
pendekar dan ahli bela diri, ekspansi tentara Majapahit yang dipimpin Gajah Mada ke seluruh
penjuru Nusantara (kecuali kerajaan Sunda yang tidak pernah bisa ditaklukan) tentunya
membawa ratusan bahkan ribuan pendekar. Asimilasi dengan penduduk setempat tentu juga
mempengaruhi bela diri masing-masing.
Maen pukulan Betawi sangat kental pengaruh kuntawnya serta Cimande dan Banten. Contoh
paling menarik adalah Beksi, yang berasal dari pendekar berdarah Cina di Kampung Benteng
Tangerang, Lie Ceng Ok. Beksi adalah akulturasi cantik sebuah seni bela diri. Mustika Kwitang
adalah contoh lain yang menarik di mana nama aliran ini merupakan gabungan dari dua nama
pendekar yang sangat tangguh pada masa nya. Haji Mustika pendekar Betawi, dan Kwee Tang
Kiam, pendekar berdarah Cina. Perguruan silat Tiga Berantai, Si Kilat, Si Pecut, diduga mewarisi
bela diri tentara/pasukan kerajaan Demak.
Cimande adalah satu dari beberapa aliran silat yang sangat terkenal dan mempengaruhi sekian
banyak aliran dan perguruan silat bahkan sampai ke luar negeri. Abah Khair yang dikenal
sebagai pencipta Cimande telah memiliki ilmu bela diri sebelumnya. Akulturasi aliran Cimande
dengan aliran lainnya telah melahirkan berbagai aliran pencak silat, salah satu contoh yang
sangat terkenal adalah Maenpo Cikalong.
Maenpo Cikalong diciptakan oleh Raden Haji Ibrahim Jayaperbata (1819-1906), seorang
bangsawan Cianjur, keturunan dalem Cikundul, Cikalong, Cianjur. Rd. H. Ibrahim adalah
seorang yang sangat berbakat dalam hal bela diri, berbagai aliran penca dipelajarinya, mulai
dari kakak iparnya Raden Ateng Alimudin pendekar Cimande, Bang Ma’ruf pendekar Betawi,
Bang Madi pendekar dari Minang, dan Bang Kari pendekar dari Betawi. Asimilasi dan akulturasi
dari berbagi aliran silat itu melahirkan suatu aliran baru yaitu Maenpo Cikalong.
Beberapa perguruan silat yang sangat terkenal saat ini seperti Setia Hati (Terate, Tunas Muda,
Organisasi) yang didirikan oleh Eyang Suro adalah asimilasi dari berbagai aliran silat yang beliau
pelajari. Demikian pula dengan Keluarga Silat Nasional Perisai Diri yang dibentuk oleh Pak
Dirdjo, adalah hasil dari asimilasi berbagai aliran silat.
Aliran silat Sabandar yang dibawa oleh Mama Kosim (Mohammad Kosim, seorang pendekar dari
Minang, yang kelak lebih dikenal sebagai Mama Sabandar, karena menetap di Kampung
sabandar Cianjur) sangat banyak mempengaruhi perkembangan aliran silat dan perguruan silat
baik di Jawa Barat, Betawi, maupun Jawa Tengah dan Jawa Timur. Nama-nama perguruan
silat seperti PS Aji Rasa Sabandar Kari Madi dan PSP Bandarkarima (sabandar kari madi)
merupakan bukti akan hal itu.
Keterkaitan dan saling mempengaruhi ini mutlak sangat perlu kita sadari untuk menghindari
fanatisme buta yang menganggap bahwa aliran/perguruannya lah yang paling hebat.
Keterkaitan dan saling mempengaruhi ini juga membuktikan bahwa tiap aliran memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing, dan tentu saja di sana ada satu wujud tali
silaturahim para pendahulu kita.

Senin, 17 Januari 2011

SEJARAH SINGKAT PENCAK SILAT

Sejak kapan pencak silat ada di Indonesia? Sangat sulit menjawab pertanyaan ini, belum ada
orang/peneliti yang bisa menjawab dengan pasti kapan asal mulanya. Akan tetapi sebagai
sebuah aktivitas pembelaan diri, cikal bakal pencak silat dapat dikatakan sudah setua umur
manusia. Bukan kah para manusia purba telah terbiasa melawan keras nya alam, binatang buas
dan kelompok manusia lainya dalam mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Apa pun
nama nya setiap bentuk gerakan tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya, dalam bentuk
seprimitif apa pun adalah suatu seni bela diri (walau pun terkadang untuk menyerang terlebih
dahulu).

Merujuk pada hipotesa di atas, adalah logis kalau dikatakan silat/pencak silat (penamaan
sekarang) sudah berumur sangat tua dan lahir bersamaan dengan terbentuknya susunan
masyarakat tertua di Indonesia (merujuk pada suku-suku yang tinggal di seluruh kepulauan
Nusantara). Suku-suku bangsa inilah yang kemudian menyebar ke seluruh wilayah Nusantara
sehingga pengaruh nya bisa dilihat sekarang di Malaysia, Brunei, Philipina, Thailand, dan
sekitarnya.

Ridwan Saidi seorang budayawan Betawi menyebutkan hipotesa berdasarkan hasil
penelitiannya bahwa : Pada tahun 130 telah berdiri kerajaan pertama di Jawa yang namanya
Salakanagara. Salakanagara nagara berasal dari bahasa Kawi salaka yang artinya perak.

Secara etimologis kemudian Salakanagara itu dikaitkan Ridwan dengan
laporan ahli geografi Yunani bernama Claudius Ptolomeus pada tahun
160 dalam buku Geografia yang menyebut bandar di daerah Iabadiou
(Jawa) bernama Argyre yang artinya perak. Hal ini dikaitkan pula
dengan laporan dari Cina zaman Dinasti Han yang pada tahun 132 yang
mengabarkan tentang kedatangan utusan Raja Ye Tiau bernama Tiao
Pien.
10
Ye Tiau ditafsirkan sebagai Jawa dan Tiau Pien sebagai Dewawarman.
Termasuk dalam hal ini yang disebut Slametmulyana sebagai Kerajaan
Holotan yang merupakan pendahulu kerajaan Tarumanagara dalam
bukunya Dari Holotan sampai Jayakarta adalah
Salakanagara.(wikipedia)

Sebuah kerajaan sesederhana apa pun bentuk nya, pasti mempunyai alat-alat keamanan untuk
melindungi kerajaannya, di sini pasti ada keahlian bela diri yang dimiliki oleh para prajurit dan
panglimanya, bahkan dikisahkan Aki Tirem, sang pendahulu kerajaan Salakanagara adalah
seorang ahli bela diri.

Dalam naskah itu (naskah wangsakerta-penulis) penulis berupaya
menganalisa secara logika, tentang perlawanan ki Tirem sebagai
penghulu Salakanagara melawan kekuatan Perompak yang jumlahnya
dua kali lipat melebihi pasukan Salakanagara.
Logikanya jikalau tidak mempunyai kekuatan bela diri tidak akan
mungkin pasukan perompak yang jauh lebih besar jumlahnya dapat
ditaklukan.Bukti tentang ditaklukan dengan kekuatan fisik (bukan
dengan diplomasi) dapat dilihat dengan jumlah korban, antara
lain:
(Terjemahan...)
Korban di pihak Perompak berjumlah 37 orang, 22 orang tawanan yang
selanjutnya dihukum gantung.
Secara tertulis tidak disebutkan "apa" nama bela diri dari pasukan
Salakanagara pimpinan Aki Tirem, tapi yang pastinya secara tertulis
sudah ada dan menunjukkan
eksistensi bela diri bangsa Melayu di awal abad Masehi. 

Pada perkembangan selanjutnya seiring dengan kemajuan peradaban bangsa-bangsa yang
hidup di bumi Nusantara, seni bela diri ini pun mengalami kemajuan pesat, akulturasi dan saling
mempengaruhi satu sama lain, apa lagi setelah berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain seperti
bangsa China dan India dan terjadi akulturasi budaya termasuk seni bela diri. Diperkirakan
semenjak abad ketujuh silat telah menyebar di kepulauan Nusantara, dengan penyebaran
melalui tradisi lisan dari mulut ke mulut, dari guru ke murid. Tradisi lisan ini adalah salah satu
penyebab tidaknya ada dokumentasi sejarah yang valid tentang pencak silat.

Walaupun asal muasal silat masih sulit dipastikan, tapi telah disepakati bahwa silat adalah
budaya yang lahir dari nenek moyang dan cikal-bakal bangsa Indonesia. Sebagai contoh,
bangsa Melayu terutama di Semenanjung Malaka meyakini legenda bahwa Hang Tuah dari abad
ke-14 adalah pendekar silat yang hebat. Gajah Mada adalah seorang Maha Patih yang sangat
melegenda kesaktiannya. Di tanah Pasundan kita mengenal ketangguhan pasukan kerajaan
Pajajaran yang gugur bersama sang Raja, Putri Dyah Pitaloka dan para panglima dalam perang
Bubat melawan kerajaan Majapahit. (wikipedia)

Sejarah perkembangan pencak silat mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu daerah
dengan daerah lainnya. Salah satu literatur yang bisa ditemukan tentang sejarah pencak silat
adalah Tambo Alam Minangkabau yang menceritakan tentang asal-usul silek Minang.

Bila dikaji dengan seksama isi Tambo Alam Minangkabau yang penuh
berisikan kiasan berupa pepatah,petitih ataupun mamang adat,
ternyata Silat Minang telah memiliki dan dikembangkan oleh salah
seorang penasehat Sultan Sri Maharaja Diraja yang bernama "Datuk
Suri Diraja" ; dipanggilkan dengan "Ninik Datuk Suri Diraja" oleh anakcucu
sekarang.

Sultan Sri Maharaja Diraja, seorang raja di Kerajaan Pahariyangan (
dialek: Pariangan ) . sebuah negeri (baca: nagari) yang pertama
dibangun di kaki gunung Merapi bahagian Tenggara pad abad XII (
tahun 1119 M ).

Sedangkan Ninik Datuk Suri Diraja , seorang tua yang banyak dan
dalam ilmunya di berbagai bidang kehidupan sosial. Beliau dikatakan
juga sebagai seorang ahli filsafat dan negarawan kerajaan di masa itu,
serta pertama kalinya membangun dasar-dasar adat Minangkabau;
yang kemudian disempurnakan oleh Datuk Nan Baduo, dikenal dengan
Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang.

Ninik Datuk Suri Diraja itulah yang menciptakan bermacam-macam
kesenian dan alat-alatnya, seperti pencak, tari-tarian yang diangkatkan
dari gerak-gerak silat serta membuat talempong, gong, gendang,
serunai, harbah, kecapi, dll ( I.Dt.Sangguno Dirajo, 1919:18)

Sebagai catatan disini, mengenai kebenaran isi Tambo yang dikatakan
orang mengandung 2% fakta dan 98 % mitologi hendaklah diikuti juga
uraian Drs.MID.Jamal dalam bukunya : "Menyigi Tambo Alam
Minangkabau" (Studi perbandingan sejarah) halaman 10.

Ninik Datuk Suri Diraja (dialek: Niniek Datuek Suri Dirajo) sebagai salah
seorang Cendekiawan yang dikatakan "lubuk akal, lautan budi" , tempat
orang berguru dan bertanya di masa itu; bahkan juga guru dari Sultan
Sri Maharaja Diraja. (I.Dt. Sangguno Durajo, 1919:22).

Beliau itu jugalah yang menciptakan bermacam-macam cara
berpakaian, seperti bermanik pada leher dan gelang pada kaki dan
tangan serta berhias, bergombak satu,empat, dsb.

Ninik Datuk Suri Dirajo (1097-1198) itupun, sebagai kakak ipar
(Minang: "Mamak Runah") dari Sultan Sri Maharaja Diraja ( 1101-1149
), karena adik beliau menjadi isteri pertama (Parama-Iswari) dari Raja
Minangkabau tsb. Oleh karena itu pula "Mamak kandung" dari Datuk
Nan Baduo.

Pengawal-pengawal Sultan Sri Maharaja Diraja yang bernama Kucieng
Siam, Harimau Campo, Kambieng Utan, dan Anjieng Mualim menerima
warisan ilmu silat sebahagian besarnya dari Ninik Datuk Dirajo; meskipun kepandaian silat pusaka yang mereka miliki dari negeri asal masing-masing sudah ada juga. Dalam hal ini dimaksudkan
bahwa keempat pengawal kerajaan itu pada mulanya berasal dari
berbagai kawasan yang berada di sekitar Tanah Basa (= Tanah Asal) ,
yaitu di sekitar lembah Indus dahulunya.

Mereka merupakan keturunan dari pengawal-pengawal nenek moyang
yang mula-mula sekali menjejakkan kaki di kaki gunung Merapi. Nenek
moyang yang pertama itu bernama "DAPUNTA HYANG". ( Mid.Jamal,
1984:35).

Kucieng Siam, seorang pengawal yang berasal dari kawasan Kucin-Cina
(Siam); Harimau Campo, seorang pengawal yang gagah perkasa,
terambil dari kawasan Campa ; Kambieng Utan , seorang pengawal
yang berasal dari kawasan Kamboja, dan Anjieng Mualim, seorang
pengawal yang datang dari Persia/Gujarat.

Sehubungan dengan itu, kedudukan atau jabatan pengawalan sudah
ada sejak nenek moyang suku Minangkabau bermukim di daerah sekitar
gunung Merapi di zaman purba; sekurang-kurangnya dalam abad
pertama setelah timbulnya kerajaan Melayu di Sumatera Barat.

Pemberitaan tentang kehadiran nenek moyang (Dapunta Hyang)
dimaksud telah dipublikasikan dalam prasasti "Kedukan Bukit" tahun
683 M, yang dikaitkan dengan keberangkatan Dapunta Hyang dengan
balatentaranya dari gunung Merapi melalui Muara Kampar atau Minang
Tamwan ke Pulau Punjung / Sungai Dareh untuk mendirikan sebuah
kerajaan yang memenuhi niat perjalanan suci missi. dimaksud untuk
menyebarkan agama Budha. Di dalam perjalanan suci yang ditulis/
dikatakan dalam bahasa Melayu Kuno pada prasasti tsb dengan
perkataan : " Manalap Sidhayatra" (Bakar Hatta,1983:20), terkandung
juga niat memenuhi persyaratan mendirikan kerajaan dengan
memperhitungkan faktor-faktor strategi militer, politik dan ekonomi.
Kedudukan kerajaan itupun tidak bertentangan dengan kehendak
kepercayaan/agama, karena di tepi Batanghari ditenukan sebuah
tempat yang memenuhi persyaratan pula untuk memuja atau
mengadakan persembahan kepada para dewata. Tempat itu, sebuah
pulau yang dialiri sungai besar, yang merupakan dua pertemuan yang
dapat pula dinamakan "Minanga Tamwan" atau "Minanga Kabwa".

Akhirnya pulau tempat bersemayam Dapunta Hyang yang menghadap
ke Gunung Merapi (pengganti Mahameru yaitu Himalaya) itu dinamakan
Pulau Punjung (asal kata: pujeu artinya puja). Sedangkan kerajaan
yang didirikan itu disebut dengan kerajaan Mianga Kabwa dibaca:
Minangkabaw. 

Kalau kita baca dan simak tulisan di atas, dapat disimpulkan bahwa tambo alam ini adalah
sejarah tertulis yang paling tua yang menceritakan tentang asal-usul pencak silat (silek
minang). Di situ juga dapat kita lihat bahwa perkembangan pencak silat tidak lepas dari
akulturasi budaya.

Pencak silat Sunda (amengan, ulin, maenpo) pun yang begitu kaya aliran-aliran silat serta
menjadi mainstream dalam perkembangan pencak silat di tanah air tidak mempunyai banyak
sumber tertulis yang dapat dijadikan bahan penelusuran asal muasal nya. Salah satu sumber
yang dapat ditemukan adalah sebuah kidung sundayana yang menceritakan tentang heroiknya
pasukan kerajaan Pajajaran yang dipimpin langsung oleh sang Sang Prabu Maharaja
Linggabuwana Wisesa dalam Sanghyang Sikshakandha Ng Karesiyan :

“Puluh-puluh rombongan heunteu kaitung
Tujuh rupa penca, anu ulin pakarang bae
Lain deui bangsa, serimpi bedaya”
Puluh-puluh rombongan tidak terhitung,
Tujuh rupa penca, yang memainkan senjata
Berbeda lagi bangsa, serimpi bedaya”


Dalam kidung di atas disebutkan adanya “tujuh rupa penca”. Apakah tujuh rupa penca itu
merupakan tujuh jenis bela diri, tujuh aliran, tujuh teknik ataukah tujuh teknik perang? Apabila
itu adalah tujuh jenis penca/tujuh aliran, penca apa sajakah? Aliran apa sajakah? Sampai saat
ini belum ada titik terang dan masih membutuhkan upaya keras untuk memecahkannya.

Aliran silat Sunda manakah yang paling tua? Ini pun masih menjadi bahan kajian yang menarik,
karena masing-masing aliran punya argumentasi dan riwayat tutur yang menyebutkan bahwa
aliran nya yang paling tua. Penulis tidak mau terjebak dalam polemik ini, karena inilah
kelemahan budaya tutur, tidak ada bukti otentik untuk membenarkan argumen suatu kelompok
atau aliran.

Pada jaman penjajahan Belanda pencak silat tidak dapat berkembang karena dilarang oleh
pemerintah kolonial, sedangkan pada masa pendudukan Jepang pencak silat mengalami
kemajuan karena Jepang memberikan kebebasan untuk melatih dan berlatih pencak silat,
bahkan mereka kerap mengadakan suatu pertandingan yang mengumpulkan beberapa jawara,
pertandingan silat antar jawara/pendekar atau melawan jago-jago bela diri jepang.
Pada masa setelah kemerdekaan, seiring dengan bangkitnya nasionalisme, perkembangan
pencak silat mengalami suatu masa sejarah penting di mana pada tanggal 18 Mei 1948 di
Surakarta terbentuklah IPSI yang diketuai oleh Mr. Wongsonegoro. Pencak Silat sebagai seni
bela diri bangsa Indonesia, merupakan kata majemuk adalah hasil dari seminar Pencak Silat
tahun 1973 di Tugu Bogor. Sedangkan definisi Pencak Silat, selengkapnya dibuat oleh Pengurus
Besar IPSI bersama BAKIN pada tahun 1975 sebagai berikut : Pencak Silat adalah hasil
budayamanusia Indonesia untuk membela atau mempertahankan eksintensi (kemandirian) intergritasnya
(manunggalnya) terhadap lingkungan hidup atau alam sekitar untuk mencapai keselarasan hidup guna
peningkatan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa Dalam Seminar ini pulalah dilakukan
pengukuhan istilah bagi seni pembelaan diri bangsa Indonesia dengan nama "Pencak Silat".
 
 


PENCAK SILAT

PENGERTIAN PENCAK SILAT
Kalau kita berbicara tentang pencak silat kepada masyarakat umum maka yang tergambar
dalam benak mereka adalah “sebuah olah raga yang dipertandingkan” yang tidak ubahnya
dengan tinju (saling pukul), gulat (saling membanting dan bergumul), atau karate (kombinasi
memukul, menendang, membanting, menghindar, dan menangkis serangan)dan jenis bela diri
lainnya. Dengan kata lain adalah : “tidak ada sesuatu yang khas yang bisa dibanggakan kecuali
pada perbedaan warna kostum yang dipakai para atlit pencak silat.
Kalaupun ada yang sedikit tahu tentang pencak silat selain olah raga yang dipertandingkan,
tidak ada yang patut dibanggakan kecuali kesan negatif bahwa “silat itu magic”, “silat itu
kampungan”, “silat itu bela diri nya para centeng dan preman pasar”. Tidak aneh kalau banyak
orang tua yang melarang anak mereka belajar pencak silat karena mereka khawatir anaknya
hanya akan terlibat tawuran.
Pandangan dan pemahaman yang demikian tidaklah sepenuhnya keliru (walaupun tentu tidak
benar juga), dan tidak dapat disalahkan karena memang sangat minimnya informasi dan
sosialisasi tentang pencak silat ke masyarakat umum. Mari kita ikuti pembahasan selanjutnya.
Pencak Silat, ada pendapat yang menafsirkan dengan memisahkan arti dari kedua kata namun
ada pula yang menganggap kedua kata tersebut sebagai bentuk dari penyatuan kata. Pendapat
pertama yang memisahkan artian kata berpendapat bahwa Pencak adalah bentuk permainan
(keahlian) untuk mempertahankan diri dengan menangkis, mengelak dan sebagainya.
Sementara silat adalah kepandaian berkelahi, seni bela diri yang berasal dari Indonesia dengan
ketangkasan membela diri dan menyerang untuk pertandingan atau perkelahian (KBBI, Pusat
Bahasa 2008) Namun kesemuanya itu memiliki kesamaan subtansi di dalam hal pengertian.
Tokoh tokoh pendiri IPSI menyepakati pengertian pencak silat dengan tidak lagi membedakan
pengertian antara pencak dan silat karena memiliki pengertian yang sama. Kata pencak silat
adalah istilah resmi yang digunakan Indonesia untuk bela diri rumpun Melayu ini, sementara
negara-negara lain seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam lebih memilih kata
silat.(iwan setiawan, dalam suatu seminar pencak silat di Universitas Indonesia, 2009)
Penulis berpendapat, PENCAK SILAT adalah istilah baku yang digunakan untuk menyebut
sebuah seni bela diri khas Indonesia. Seni bela diri sendiri mengandung dua makna : seni dan
pembelaan diri. Seni merujuk pada keindahan tata gerak, pola langkah, serang-bela, bahkan
seni dalam pencak silat lebih khusus diartikan sebagai seni pertunjukan ibing pencak silat
dimana keindahan gerak dan langkah dipadu dengan iringan musik gendang pencak (nayaga).
Seni bisa juga diartikan sebagai teknik; teknik menyerang, teknik menghindar, menangkis,
memukul, dan sebagainya. Di sinilah letak perbedaan seorang ahli pencak silat dengan orang
awam pada saat berkelahi di mana seorang yang menguasai pencak silat akan menghadapi
lawan dengan gerakan yang terpola dan terukur.
Sedangkan bela diri adalah unsur utama dalam silat, intisari dari keahlian seseorang dalam
bersilat adalah dalam pembelaan diri ini. Membela diri dalam silat tentu saja menggunakan
teknik-teknik, kaidah dan filososfi dalam silat yang dimiliki seseorang.
Pencak silat yang lahir dari olah rasa, karsa, dan cipta nenek moyang kita sangat dipengaruhi
oleh unsur-unsur budaya dan adat istiadat, oleh karena itulah dalam pencak silat muatan
kaedah dan filosofi sangat kental yang mencirikan sebuah kearifan lokal bangsa.
Sebagai seni bela diri khas yang penuh dengan kearifan lokal nenek moyang, setiap daerah di
Indonesia mempunyai istilah sendiri untuk menyebut PENCAK SILAT sebagai suatu seni bela
diri. Di Jawa Barat dikenal dengan sebutan amengan, ulin, maenpo. Di Minang silek, di Betawi
maen pukulan, di Jawa Tengah, Jawa Timur pencak, di Makassar ada yang menyebut manca’,
bemancek di Kalimantan Timur, dan sebagainya. Untuk menyeragamkan istilah yang
diperlukan untuk pergaulan internasional itulah kemudian lahir sebutan baku PENCAK SILAT,
yang akan dibahas dalam bab tersendiri di bawah ini.
Untuk memudahkan, maka dalam pembahasan selanjutnya di sini akan digunakan istilah
PENCAK SILAT, kecuali bila sedang membahas kekhasan beladiri lokal, untuk membedakannya
dengan daerah lain akan digunakan istilah lokal daerah yang bersangkutan.

INDONESIA




Catatan masa lalu menyebut kepulauan di antara Indocina dan Australia dengan aneka nama.
Kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan ini sebagai Nan-hai ("Kepulauan Laut Selatan").
Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara ("Kepulauan Tanah Seberang"), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa ("Pulau Emas", diperkirakan Pulau Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.

Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan itu sebagai Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab, luban jawi ("kemenyan Jawa"), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "orang Jawa" oleh orang Arab, termasuk untuk orang Indonesia dari luar Jawa sekali pun. Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama Samathrah (Sumatera), Sholibis (Pulau Sulawesi), dan Sundah (Sunda) yang disebut kulluh Jawi ("semuanya Jawa").

Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang", sementara kepulauan ini memperoleh nama Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang kelak juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais).


Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah taklukannya di kepulauan ini.

Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu "Insulinde", yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (dalam bahasa Latin "insula" berarti pulau). Nama "Insulinde" ini selanjutnya kurang populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di awal abad ke-20
Nama Indonesia

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: "Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur")), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations ("Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia"). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia ("nesos" dalam bahasa Yunani berarti "pulau"). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris):

"... Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia"".


Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago ("Etnologi dari Kepulauan Hindia"). Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah Indian Archipelago ("Kepulauan Hindia") terlalu panjang dan membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.


Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia):

"Mr Earl menyarankan istilah etnografi "Indunesian", tetapi menolaknya dan mendukung "Malayunesian". Saya lebih suka istilah geografis murni "Indonesia", yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia"

Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.


Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel ("Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu") sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indiƫ tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.

Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.

Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk "Indonesia") juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch ("Hindia") oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander ("pribumi") diganti dengan Indonesiƫr ("orang Indonesia").