Senin, 17 Januari 2011

SEJARAH SINGKAT PENCAK SILAT

Sejak kapan pencak silat ada di Indonesia? Sangat sulit menjawab pertanyaan ini, belum ada
orang/peneliti yang bisa menjawab dengan pasti kapan asal mulanya. Akan tetapi sebagai
sebuah aktivitas pembelaan diri, cikal bakal pencak silat dapat dikatakan sudah setua umur
manusia. Bukan kah para manusia purba telah terbiasa melawan keras nya alam, binatang buas
dan kelompok manusia lainya dalam mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Apa pun
nama nya setiap bentuk gerakan tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya, dalam bentuk
seprimitif apa pun adalah suatu seni bela diri (walau pun terkadang untuk menyerang terlebih
dahulu).

Merujuk pada hipotesa di atas, adalah logis kalau dikatakan silat/pencak silat (penamaan
sekarang) sudah berumur sangat tua dan lahir bersamaan dengan terbentuknya susunan
masyarakat tertua di Indonesia (merujuk pada suku-suku yang tinggal di seluruh kepulauan
Nusantara). Suku-suku bangsa inilah yang kemudian menyebar ke seluruh wilayah Nusantara
sehingga pengaruh nya bisa dilihat sekarang di Malaysia, Brunei, Philipina, Thailand, dan
sekitarnya.

Ridwan Saidi seorang budayawan Betawi menyebutkan hipotesa berdasarkan hasil
penelitiannya bahwa : Pada tahun 130 telah berdiri kerajaan pertama di Jawa yang namanya
Salakanagara. Salakanagara nagara berasal dari bahasa Kawi salaka yang artinya perak.

Secara etimologis kemudian Salakanagara itu dikaitkan Ridwan dengan
laporan ahli geografi Yunani bernama Claudius Ptolomeus pada tahun
160 dalam buku Geografia yang menyebut bandar di daerah Iabadiou
(Jawa) bernama Argyre yang artinya perak. Hal ini dikaitkan pula
dengan laporan dari Cina zaman Dinasti Han yang pada tahun 132 yang
mengabarkan tentang kedatangan utusan Raja Ye Tiau bernama Tiao
Pien.
10
Ye Tiau ditafsirkan sebagai Jawa dan Tiau Pien sebagai Dewawarman.
Termasuk dalam hal ini yang disebut Slametmulyana sebagai Kerajaan
Holotan yang merupakan pendahulu kerajaan Tarumanagara dalam
bukunya Dari Holotan sampai Jayakarta adalah
Salakanagara.(wikipedia)

Sebuah kerajaan sesederhana apa pun bentuk nya, pasti mempunyai alat-alat keamanan untuk
melindungi kerajaannya, di sini pasti ada keahlian bela diri yang dimiliki oleh para prajurit dan
panglimanya, bahkan dikisahkan Aki Tirem, sang pendahulu kerajaan Salakanagara adalah
seorang ahli bela diri.

Dalam naskah itu (naskah wangsakerta-penulis) penulis berupaya
menganalisa secara logika, tentang perlawanan ki Tirem sebagai
penghulu Salakanagara melawan kekuatan Perompak yang jumlahnya
dua kali lipat melebihi pasukan Salakanagara.
Logikanya jikalau tidak mempunyai kekuatan bela diri tidak akan
mungkin pasukan perompak yang jauh lebih besar jumlahnya dapat
ditaklukan.Bukti tentang ditaklukan dengan kekuatan fisik (bukan
dengan diplomasi) dapat dilihat dengan jumlah korban, antara
lain:
(Terjemahan...)
Korban di pihak Perompak berjumlah 37 orang, 22 orang tawanan yang
selanjutnya dihukum gantung.
Secara tertulis tidak disebutkan "apa" nama bela diri dari pasukan
Salakanagara pimpinan Aki Tirem, tapi yang pastinya secara tertulis
sudah ada dan menunjukkan
eksistensi bela diri bangsa Melayu di awal abad Masehi. 

Pada perkembangan selanjutnya seiring dengan kemajuan peradaban bangsa-bangsa yang
hidup di bumi Nusantara, seni bela diri ini pun mengalami kemajuan pesat, akulturasi dan saling
mempengaruhi satu sama lain, apa lagi setelah berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain seperti
bangsa China dan India dan terjadi akulturasi budaya termasuk seni bela diri. Diperkirakan
semenjak abad ketujuh silat telah menyebar di kepulauan Nusantara, dengan penyebaran
melalui tradisi lisan dari mulut ke mulut, dari guru ke murid. Tradisi lisan ini adalah salah satu
penyebab tidaknya ada dokumentasi sejarah yang valid tentang pencak silat.

Walaupun asal muasal silat masih sulit dipastikan, tapi telah disepakati bahwa silat adalah
budaya yang lahir dari nenek moyang dan cikal-bakal bangsa Indonesia. Sebagai contoh,
bangsa Melayu terutama di Semenanjung Malaka meyakini legenda bahwa Hang Tuah dari abad
ke-14 adalah pendekar silat yang hebat. Gajah Mada adalah seorang Maha Patih yang sangat
melegenda kesaktiannya. Di tanah Pasundan kita mengenal ketangguhan pasukan kerajaan
Pajajaran yang gugur bersama sang Raja, Putri Dyah Pitaloka dan para panglima dalam perang
Bubat melawan kerajaan Majapahit. (wikipedia)

Sejarah perkembangan pencak silat mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu daerah
dengan daerah lainnya. Salah satu literatur yang bisa ditemukan tentang sejarah pencak silat
adalah Tambo Alam Minangkabau yang menceritakan tentang asal-usul silek Minang.

Bila dikaji dengan seksama isi Tambo Alam Minangkabau yang penuh
berisikan kiasan berupa pepatah,petitih ataupun mamang adat,
ternyata Silat Minang telah memiliki dan dikembangkan oleh salah
seorang penasehat Sultan Sri Maharaja Diraja yang bernama "Datuk
Suri Diraja" ; dipanggilkan dengan "Ninik Datuk Suri Diraja" oleh anakcucu
sekarang.

Sultan Sri Maharaja Diraja, seorang raja di Kerajaan Pahariyangan (
dialek: Pariangan ) . sebuah negeri (baca: nagari) yang pertama
dibangun di kaki gunung Merapi bahagian Tenggara pad abad XII (
tahun 1119 M ).

Sedangkan Ninik Datuk Suri Diraja , seorang tua yang banyak dan
dalam ilmunya di berbagai bidang kehidupan sosial. Beliau dikatakan
juga sebagai seorang ahli filsafat dan negarawan kerajaan di masa itu,
serta pertama kalinya membangun dasar-dasar adat Minangkabau;
yang kemudian disempurnakan oleh Datuk Nan Baduo, dikenal dengan
Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang.

Ninik Datuk Suri Diraja itulah yang menciptakan bermacam-macam
kesenian dan alat-alatnya, seperti pencak, tari-tarian yang diangkatkan
dari gerak-gerak silat serta membuat talempong, gong, gendang,
serunai, harbah, kecapi, dll ( I.Dt.Sangguno Dirajo, 1919:18)

Sebagai catatan disini, mengenai kebenaran isi Tambo yang dikatakan
orang mengandung 2% fakta dan 98 % mitologi hendaklah diikuti juga
uraian Drs.MID.Jamal dalam bukunya : "Menyigi Tambo Alam
Minangkabau" (Studi perbandingan sejarah) halaman 10.

Ninik Datuk Suri Diraja (dialek: Niniek Datuek Suri Dirajo) sebagai salah
seorang Cendekiawan yang dikatakan "lubuk akal, lautan budi" , tempat
orang berguru dan bertanya di masa itu; bahkan juga guru dari Sultan
Sri Maharaja Diraja. (I.Dt. Sangguno Durajo, 1919:22).

Beliau itu jugalah yang menciptakan bermacam-macam cara
berpakaian, seperti bermanik pada leher dan gelang pada kaki dan
tangan serta berhias, bergombak satu,empat, dsb.

Ninik Datuk Suri Dirajo (1097-1198) itupun, sebagai kakak ipar
(Minang: "Mamak Runah") dari Sultan Sri Maharaja Diraja ( 1101-1149
), karena adik beliau menjadi isteri pertama (Parama-Iswari) dari Raja
Minangkabau tsb. Oleh karena itu pula "Mamak kandung" dari Datuk
Nan Baduo.

Pengawal-pengawal Sultan Sri Maharaja Diraja yang bernama Kucieng
Siam, Harimau Campo, Kambieng Utan, dan Anjieng Mualim menerima
warisan ilmu silat sebahagian besarnya dari Ninik Datuk Dirajo; meskipun kepandaian silat pusaka yang mereka miliki dari negeri asal masing-masing sudah ada juga. Dalam hal ini dimaksudkan
bahwa keempat pengawal kerajaan itu pada mulanya berasal dari
berbagai kawasan yang berada di sekitar Tanah Basa (= Tanah Asal) ,
yaitu di sekitar lembah Indus dahulunya.

Mereka merupakan keturunan dari pengawal-pengawal nenek moyang
yang mula-mula sekali menjejakkan kaki di kaki gunung Merapi. Nenek
moyang yang pertama itu bernama "DAPUNTA HYANG". ( Mid.Jamal,
1984:35).

Kucieng Siam, seorang pengawal yang berasal dari kawasan Kucin-Cina
(Siam); Harimau Campo, seorang pengawal yang gagah perkasa,
terambil dari kawasan Campa ; Kambieng Utan , seorang pengawal
yang berasal dari kawasan Kamboja, dan Anjieng Mualim, seorang
pengawal yang datang dari Persia/Gujarat.

Sehubungan dengan itu, kedudukan atau jabatan pengawalan sudah
ada sejak nenek moyang suku Minangkabau bermukim di daerah sekitar
gunung Merapi di zaman purba; sekurang-kurangnya dalam abad
pertama setelah timbulnya kerajaan Melayu di Sumatera Barat.

Pemberitaan tentang kehadiran nenek moyang (Dapunta Hyang)
dimaksud telah dipublikasikan dalam prasasti "Kedukan Bukit" tahun
683 M, yang dikaitkan dengan keberangkatan Dapunta Hyang dengan
balatentaranya dari gunung Merapi melalui Muara Kampar atau Minang
Tamwan ke Pulau Punjung / Sungai Dareh untuk mendirikan sebuah
kerajaan yang memenuhi niat perjalanan suci missi. dimaksud untuk
menyebarkan agama Budha. Di dalam perjalanan suci yang ditulis/
dikatakan dalam bahasa Melayu Kuno pada prasasti tsb dengan
perkataan : " Manalap Sidhayatra" (Bakar Hatta,1983:20), terkandung
juga niat memenuhi persyaratan mendirikan kerajaan dengan
memperhitungkan faktor-faktor strategi militer, politik dan ekonomi.
Kedudukan kerajaan itupun tidak bertentangan dengan kehendak
kepercayaan/agama, karena di tepi Batanghari ditenukan sebuah
tempat yang memenuhi persyaratan pula untuk memuja atau
mengadakan persembahan kepada para dewata. Tempat itu, sebuah
pulau yang dialiri sungai besar, yang merupakan dua pertemuan yang
dapat pula dinamakan "Minanga Tamwan" atau "Minanga Kabwa".

Akhirnya pulau tempat bersemayam Dapunta Hyang yang menghadap
ke Gunung Merapi (pengganti Mahameru yaitu Himalaya) itu dinamakan
Pulau Punjung (asal kata: pujeu artinya puja). Sedangkan kerajaan
yang didirikan itu disebut dengan kerajaan Mianga Kabwa dibaca:
Minangkabaw. 

Kalau kita baca dan simak tulisan di atas, dapat disimpulkan bahwa tambo alam ini adalah
sejarah tertulis yang paling tua yang menceritakan tentang asal-usul pencak silat (silek
minang). Di situ juga dapat kita lihat bahwa perkembangan pencak silat tidak lepas dari
akulturasi budaya.

Pencak silat Sunda (amengan, ulin, maenpo) pun yang begitu kaya aliran-aliran silat serta
menjadi mainstream dalam perkembangan pencak silat di tanah air tidak mempunyai banyak
sumber tertulis yang dapat dijadikan bahan penelusuran asal muasal nya. Salah satu sumber
yang dapat ditemukan adalah sebuah kidung sundayana yang menceritakan tentang heroiknya
pasukan kerajaan Pajajaran yang dipimpin langsung oleh sang Sang Prabu Maharaja
Linggabuwana Wisesa dalam Sanghyang Sikshakandha Ng Karesiyan :

“Puluh-puluh rombongan heunteu kaitung
Tujuh rupa penca, anu ulin pakarang bae
Lain deui bangsa, serimpi bedaya”
Puluh-puluh rombongan tidak terhitung,
Tujuh rupa penca, yang memainkan senjata
Berbeda lagi bangsa, serimpi bedaya”


Dalam kidung di atas disebutkan adanya “tujuh rupa penca”. Apakah tujuh rupa penca itu
merupakan tujuh jenis bela diri, tujuh aliran, tujuh teknik ataukah tujuh teknik perang? Apabila
itu adalah tujuh jenis penca/tujuh aliran, penca apa sajakah? Aliran apa sajakah? Sampai saat
ini belum ada titik terang dan masih membutuhkan upaya keras untuk memecahkannya.

Aliran silat Sunda manakah yang paling tua? Ini pun masih menjadi bahan kajian yang menarik,
karena masing-masing aliran punya argumentasi dan riwayat tutur yang menyebutkan bahwa
aliran nya yang paling tua. Penulis tidak mau terjebak dalam polemik ini, karena inilah
kelemahan budaya tutur, tidak ada bukti otentik untuk membenarkan argumen suatu kelompok
atau aliran.

Pada jaman penjajahan Belanda pencak silat tidak dapat berkembang karena dilarang oleh
pemerintah kolonial, sedangkan pada masa pendudukan Jepang pencak silat mengalami
kemajuan karena Jepang memberikan kebebasan untuk melatih dan berlatih pencak silat,
bahkan mereka kerap mengadakan suatu pertandingan yang mengumpulkan beberapa jawara,
pertandingan silat antar jawara/pendekar atau melawan jago-jago bela diri jepang.
Pada masa setelah kemerdekaan, seiring dengan bangkitnya nasionalisme, perkembangan
pencak silat mengalami suatu masa sejarah penting di mana pada tanggal 18 Mei 1948 di
Surakarta terbentuklah IPSI yang diketuai oleh Mr. Wongsonegoro. Pencak Silat sebagai seni
bela diri bangsa Indonesia, merupakan kata majemuk adalah hasil dari seminar Pencak Silat
tahun 1973 di Tugu Bogor. Sedangkan definisi Pencak Silat, selengkapnya dibuat oleh Pengurus
Besar IPSI bersama BAKIN pada tahun 1975 sebagai berikut : Pencak Silat adalah hasil
budayamanusia Indonesia untuk membela atau mempertahankan eksintensi (kemandirian) intergritasnya
(manunggalnya) terhadap lingkungan hidup atau alam sekitar untuk mencapai keselarasan hidup guna
peningkatan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa Dalam Seminar ini pulalah dilakukan
pengukuhan istilah bagi seni pembelaan diri bangsa Indonesia dengan nama "Pencak Silat".
 
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar